Senin, 03 Januari 2011

Post power syndrome


Post Power syndrome


Pernahkah Anda mendengar Post Power Syndrome?
Apa itu Post Power Syndrome?
Post power syndrome atau gejala pasca kehilangan kekuasaan. Gejala ini dapat menghantui siapapun, tak terkecuali pria maupun wanita. Seseorang yang menderita post power sindrome seolah-olah hidup dalam kebesaran masa lalunya. Misalnya jabatan, kekuasaan, kekayaan, kecerdasan, kepemimpinan, ketampanan, kecantikan dan lain sebagainya, dimana seakan-akan tidak mampu menerima kenyaataan yang terjadi saat ini.
Penyebab syndrome ini  bisa berbagai faktor. Namun biasanya dialami oleh mereka yang baru mendapatkan pensiun dari pekerjaannya karena purna tugas maupun PHK. Rutinitas, produktifitas yang secara formal dijalani setiap hari, kemudian harus kehilangan semua itu karena faktor usia, regenerasi jabatan dan lain hal, apabila tidak disikapi dengan positif maka “penyakit” ini bisa menyerang.
Biasanya orang yang menderita Post power sindrome adalah mereka yang senang dihormati (baca: gila hormat), suka dilayani, suka mengatur. Seseorang dengan need of power yang tinggi untuk menaklukkan orang-orang disekitarnya supaya tunduk dan patuh dengan perintahnya. Dia membutuhkan itu semua untuk  menjaga prestise dan statusnya. Orang yang mendedikasikan hidupnya terhadap pangkat, jabatan dan apapun sejenisnya itu, seolah-olah tanpa embel-embel kekuasaan, ia hanyalah sebagai manusia biasa, padahal dirinya berharap sesuatu yang lebih terutama penghormatan orang lain terhadapnya. Pendek kata, para penderita ini merupakan tipe manusia yang berlindung dibawah kekuasaan. Maka saat ia harus menyerahkan estafet kekuasaannya itu, bila tidak dibarengi dengan sikap legawa, seakan roda kehidupannya berbalik arah seratus delapan puluh derajat.
Secara umum orang yang terkena sindrome ini nampak sebagaimana gejala-gejala seperti berikut. Pertama, Gejala fisik, misalnya tampak kuyu, terlihat lebih tua, tubuh lebih lemah, sakit-sakitan. Kedua, Gejala emosi, misalnya mudah tersinggung, pemurung, senang menarik diri dari pergaulan, atau sebaliknya cepat marah untuk hal-hal kecil, tak suka disaingi dan tak suka dibantah. Ketiga, Gejala perilaku, misalnya menjadi pendiam, pemalu, atau justru senang berbicara mengenai kehebatan dirinya di masa lalu, senang menyerang pendapat orang, mencela, mengkritik, tak mau kalah, dan menunjukkan kemarahan baik di rumah maupun di tempat umum. (kompas.com. 6 juni 2010)
Pada dasarnya gejala post power syndrome itu sangat lumrah dialami oleh seseorang, apalagi ketika baru saja menghadapi masa transisi setelah masa jabatan berakhir. Terkadang seseorang menjadi limbung tidak tahu harus beraktifitas apa untuk menghabiskan hari-harinya ke depan. Namun keadaan seperti ini tidak boleh berlarut-larut. Harus segera menyesuaikan dengan diri dengan kehidupan barunya. ketidakmampuan seseorang untuk beradaptasi dengan kehidupan barunya sangat rentan terhadap sindrome ini
Untuk mengatasinya ada beberapa terapi yang bisa dilakukan. Yang pertama, kita harus bisa menyadari bahwa kekuasaan, jabatan dan apapun yang melekat dalam diri seseorang itu bersifat sementara. Semua ada masanya. Dan ketika tiba waktunya, harus rela menyerahkannya kepada orang lain. Itu merupakan sunnatullah atau hukum alam. Kedua, membiasakan untuk berfikir positif dan mengambil hikmah terhadap apapun yang menimpa diri kita. Ketiga, melakukan berbagai aktifitas baru sehingga dapat menemukan aktualisasi diri yang baru. Salah satunya dengan menyalurkan hobby seperti; menulis, bagi yang suka menulis; memancing, berkebun dsb. Dengan demikian akan banyak waktu yang terisi dengan kegiatan yang lebih berguna.
Namun yang tidak kalah pentingnya adalah dukungan orang-orang di sekitar seperti keluarga serta kematangan emosi seseorang itu sangat berpengaruh, bagaimana melewati fase-fase ini. Keluarga sebagai lingkungan terdekat harus bisa merangkul dan menerima keberadaannya yang sudah tidak lagi produktif. Apabila penderita ini menyadari betapa besar dukungan dari keluarga terhadap dirinya, maka ia akan segera bisa untuk beraktifitas lagi dan menyalurkan emosinya supaya lebih konstruktif.
Keadaannya akan  sangat  berbalik, apabila lingkungan keluarga bersikap kontra, seperti mengucilkan, mengolok-olok, menyindir dan menganggapnya sebagai manusia yang sudah tidak berguna. Bisa jadi, syndrome ini akan semakin parah sehingga bisa menimbulkan depresi bahkan sampai pada gangguan kejiwaan.
Sebagai penutup, post power syndrome ini bisa kita hindari, apabila kita sebagai manusia, bisa lebih mendekatkan diri kepada sang Khalik. Selain itu kita juga harus bersikap rendah hati, memanusiakan manusia, setinggi apapun jabatan yang kita miliki, tidak mendewakan jabatan atau kekuasaan. Sehingga apabila semuanya harus berakhir, maka kita tidak mengalami kegoncangan jiwa. Harus berprinsip bahwa, “hidup harus bermanfaat ketika ada kekuasaan maupun tanpa kekuasaan”.

*) Nina Vinolia
(Penulis adalah Guru SMAN I Sidayu)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar